Monday 12 November 2012

Warisan Kakek Guru, Sang Pahlawan Tanpa Tanda Jasa




Kenangan bersama kakek sangat berkesan dan penuh makna, walaupun semua itu terasa teramat singkat. Kakek adalah seorang guru matematika yang bersahaja dengan delapan orang anak. Kakek lahir pada tahun 1914, 13 tahun lebih muda dari Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia. Masa kecil kakek hingga remaja masih dalam era penjajahan Belanda, jaman perang, jaman susah, jaman ubi dan jaman penuh perjuangan. 

Hal yang paling kuingat tentang kakek adalah mencongak atau menghitung cepat di luar kepala berdasarkan ingatan, jadi yang ditulis di buku hanyalah hasilnya saja. Saat itu aku masih duduk di Sekolah Dasar (SD), kakek berusia 77 tahun. Walaupun aku bertemu kakek ketika kakek sudah lanjut usia, tapi semangat dan jiwa pendidik beliau tetap terpancar dan tidak pudar. Hal ini terlihat dari kenangan-kenangan bersama kakek yang sebagian besar berupa kegiatan mencongak. Aku selalu menikmati soal-soal mencongak yang diberikan kakek. Kakek sendiri yang menyiapkan buku tulis untuk mencongak. Buku itu bersampul hijau polos dengan initial namaku, tulisan tangan kakek.

Entah kenapa, aku sangat bahagia dengan momen mencongak itu, semua terasa tanpa beban, walaupun aku harus berpikir keras dan cepat, mungkin karena pola pengajaran kakek yang ngemong, penuh perhatian dan kesabaran, namun tetap tegas. Di usianya yang 77 tahun, kakek sendiri yang mendiktekan soal-soal mencongak. Aku selalu teringat momen berharga itu, karena selalu memotifasiku untuk berkonsentrasi, berpikir cepat, namun penuh ketenangan. Kakek juga selalu memotifasiku untuk berprestasi di sekolah. 

Figur kakek adalah figur guru kebanyakan, dengan sepeda ontel, peci hitam dan rumah sederhana. Tidak ada sepeda motor dan tidak ada kompor minyak tanah di rumah kakek, hanya kompor-kompor tradisional dengan kayu bakar, atap rumah pun tidak ber-asbes dan air pun harus menimba dari sumur. Kondisi rumah kakek yang terletak di Tulungagung, dekat kota peristirahatan terakhir Bung Karno, Blitar, Jawa Timur ini sedikit bertolak belakang dengan rumah keluargaku di kota Malang, Jawa Timur. Bapakku bekerja di Pabrik Gula sebagai mandor perkebunan tebu dan kami tinggal di rumah dinas peninggalan Belanda (biasa disebut rumah loji) yang sangat luas dengan bangunan yang kokoh. Kami hidup lebih dari cukup, karena ibuku juga bekerja sebagai bidan, profesi yang menurutku sangat mulia, membantu para ibu dan calon ibu untuk melahirkan. Walaupun kondisi rumah kakek dan rumah keluargaku cukup berbeda, namun kesederhaan rumah kakek selalu membuatku rindu. 

Penghasilan kakek sebagai guru tentu hanya sekedar cukup, namun beliau berhasil membesarkan delapan anak tanpa kekurangan. Dan yang membuatku kagum adalah semangat dan kerja keras kakek hingga akhirnya dari delapan anak, empat anak telah mengikuti jejak beliau untuk berprofesi sebagai guru, bahkan tiga diantaranya telah menjadi kepala sekolah. Sekolah bagi kakek adalah keharusan, dan pendidikan adalah kebutuhan primer. Aku ingat ketika ibuku bercerita tentang pengorbanan kakek untuk menyekolahkan ibuku di Akademi Kebidanan. Ketika itu, biaya masuk Akademi Kebidanan sangat tinggi, karena masih jarang siswanya. Namun melihat tekad ibuku yang kuat dan kesungguhan hatinya, kakek pun berdiskusi panjang dengan nenek dan akhirnya setuju untuk menjual sebidang sawah satu-satunya untuk biaya sekolah ibuku. Ibuku selalu terharu jika bercerita tentang pengorbanan kakek demi sekolah anak-anaknya.

Kini kakek telah tiada, tepatnya enam belas tahun yang lalu, di usia 82 tahun. Namun kenangan tentang semangat menuntut ilmu, keikhlasan, kesabaran, wibawa, ketegasan, kesungguhan hati dan kesahajaan beliau adalah warisan yang tidak ternilai dan akan selalu kuteladani.  Hal ini pulalah yang selalu menyemangatiku untuk tekun belajar dan semangat menuntut ilmu, walaupun sekolah dan rumahku jaraknya cukup jauh.  Jarak rumah dan sekolahku adalah 18 kilometer, aku harus bangun pagi untuk menunggu bis sekolah yang setiap hari menjemput pukul 05.30.  Bis sekolah ini adalah fasilitas dari Pabrik Gula tempat bapakku bekerja. Tentu saja tidak ada pabrik gula di tengah kota, jadi kami harus rela menempuh jarak 36 km tiap hari demi sekolah di kota. 

Bangku Sekolah 

Selain kakek, orang tua juga sangat berperan dalam pendidikanku. Ibu dan bapakku memiliki latar belakang yang berbeda. Keluarga ibu adalah keluarga pendidik yang bersahaja, dimana guru dan kepala sekolah adalah profesi dan pilihan hidup, sedangkan keluarga bapak sangat beragam, dari segi kultur dan agama. Keluarga bapak sebagian besar adalah pengusaha di bidang perkebunan yang sukses, dan hal ini sangat mempengaruhi pola pendidikan yang dipilih bapak untuk anak-anaknya. 

Bapakku sangat disipilin. Aku ingat ketika aku ijin bermain ke rumah tetangga sepulang sekolah, bapakku bertanya:
“ Mau main sampe jam brapa, Nduk?”
“Jam dua, Pak”
“Baik, jangan sampai telat ya, biasakan tepat waktu, telat itu memalukan”
Aku pun langsung bermain ke rumah tetangga. Asik sekali aku bermain bersama teman-temanku, memanjat pohon jambu, bermain petak umpet, sampai akhirnya keasikan dan waktu menunjukkan pukul 14.15. Aku panik, lalu bergegas pulang. Sesampainya di rumah, pintu sudah terkunci semua. Aku mengetok berulang-ulang kali, namun tak ada yang membukakan pintu. Aku mengetok sampe kelelahan. Bisa dibayangkan daun pintu rumah peninggalan Belanda yang sangat tebal kayunya, kuketok dengan tanganku yang mungil. Lebih dari 30 menit aku berdiri di depan pintu rumah, sampe akhirnya aku lemas tertunduk dan menangis. Tidak lama kemudian bapakkku membukakan pintu rumah, aku langsung berlari memeluk bapak sambil tetap menangis.
“ Bapak…, kenapa pintunya dikunci?”
“Kan bapak sudah bilang, kalau janji pulang jam 2 ya harus ditepati, jangan sampe bikin malu gara-gara telat. Ngerti nduk?”
“Iya Pak, Maaf”
“Tidak boleh diulangi kesalahan seperti ini ya!”
“Iya Pak, saya janji”
Sejak saat itu aku takut sekali terlambat, aku selalu memperhatikan waktu dalam segala kegiatan. Aku bersyukur bapakku mengajarkan disiplin sejak aku kecil.
Ketika Sekolah Dasar, bapak memasukkan aku dan kakakku ke sekolah swasta. Tata tertib sekolah dan guru-gurunya yang sangat disipilin telah membentuk karakterku, sehingga aku mampu tumbuh menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab.

Prestasiku di sekolah cukup bagus dan ketika akhirnya aku menginjak kelas 6 SD, nilai Ujian Nasional yang kuraih cukup memuaskan sehingga aku bisa lulus dan masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri terbaik. Namun, justru inilah titik balik perubahan karakterku sebagai siswa. Aku sempat mengalami shock dan nilai-nilai pelajaranku anjlok jauh sekali. Aku kaget dengan sistem Sekolah Negeri, dimana kelasnya banyak sekali dan jumlah muridnya pun banyak. Kelas 1 SMP, jumlahnya ada 8, dari Kelas 1 A, hingga Kelas 1 H, dan setiap kelas ada sekitar 45 siswa. Ini sungguh berbeda dengan kondisi sekolah swasta yang kukenyam selama enam tahun sebelumnya. Kelas di Sekolah Negeri begitu riuh, hingga aku merasa kurang diperhatikan oleh guru. Sistem sekolahnya pun membuat aku sedikit kebingungan, karena waktu kelas 1 SMP, aku diharuskan “masuk siang”, karena kelasnya dipakai oleh siswa kelas 3 SMP di pagi hari. Kebiasaanku yang terpola untuk bangun pukul 5 pagi dan menunggu bis sekolah di pagi hari langsung berubah. Aku sempat kehilangan fokus atas sistem belajar yang masuk siang dan pulang sore, serta harus berbagi kelas dengan siswa kelas 3. Mata pelajaran pun bertambah drastis. Pada tahun 1996, kelas 1 SMP, mata pelajaran dasar di SD ditambahkan dengan Bahasa Inggris, Fisika, Kimia, Biologi, Geografi dan Akuntansi. Kadang aku merasa hanya menghafal, karena pelajaran diberikan penuh dengan teori dan sedikit praktek. Namun walaupun kondisi sekolah sungguh baru dan di luar dugaan, aku tidak berlarut-larut dan berusaha sekuat tenaga untuk menyesuaikan diri. Ibu dan bapak selalu menyemangatiku untuk tetap rajin belajar dan semangat, hingga akhirnya tiga tahun kulalui dengan lancar dan kembali lulus Ujian Nasional dengan nilai memuaskan sehingga aku bisa memilih Sekolah Menengah Utama (SMU) Negeri favorit mana pun.

Ketika menginjak kelas 3 SMU, aku memutuskan untuk masuk kelas IPA, dan disinilah nasib dan takdir mulai berbicara. Kelas 3 SMU sebenarnya adalah masa yang paling menentukan, karena kita diharuskan memilih jurusan antara IPA atau IPS dan mulai memilih Perguruan Tinggi serta jurusan kuliah yang diminati. Banyak siswa yang salah memilih jurusan, sehingga akhirnya setengah hati kuliah. Banyak Perguruan Tinggi juga mulai menawarkan jalur khusus atau PMDK kepada siswa kelas 3 SMU.  Sebagai pelajar di kota kecil, impianku pun tidak muluk-muluk, hanya ingin masuk Perguruan Tinggi Negeri. Saat itu aku ingin sekali masuk jurusan Kedokteran Gigi, Universitas Airlangga, Surabaya, namun kenyataan berkata lain. Dicatur wulan ketiga, tepatnya bulan April, tiba-tiba ada lowongan beasiswa untuk S1 di negeri Belanda. Persyaratan untuk memperoleh beasiswa tersebut tidak terlalu rumit, hanya foto kopi raport dari kelas 1 SMU, hasil tes TOEFL dan mengikuti tes tulis serta tes wawancara. Tanpa sepengetahuan orang tuaku, aku iseng-iseng mendaftar. AKu pun berangkat ke tempat tes tulis dan tes wawancara di sebuah Hotel di kota Malang. Tanpa diduga, para pewancara adalah para dosen dan ketua jurusan yang langsung datang dari negeri Belanda. 

Aku gugup, namun aku ingat nasehat almarhum kakek untuk tetap konsentrasi, tenang dan melakukan yang terbaik. Ketika tiba saatnya untuk wawancara, kakiku gemetaran, tanganku dingin dan otakku dipaksa bekerja cepat untuk menangkap setiap pertanyaan yang diajukan dalam Bahasa Inggris namun logat Belanda. Dalam kegugupanku, aku tiba-tiba teringat cerita ibuku tentang sahabat perempuannya di waktu kecil. Ibuku selalu bangga atas sahabatnya itu, namanya Tante Keppi. Mereka bersahabat sejak SMP di Tulungagung, mereka  berdua selalu belajar dan bermain bersama. Persahabatan ibu dan Tante Keppi sangat erat, hingga akhirnya mereka berpisah ketika ibuku melanjutkan ke Akademi Kebidanan dan Tante Keppi melanjutkan pendidikan ke kota Malang. Tuhan akhirnya mempertemukan mereka berdua kembali di Kota Malang ketika keduanya sudah sama-sama menikah dan menetap di kota Malang. Ibu menjadi bidan dan Tante Keppi menjadi dosen di Universitas Brawijaya. Ketika manjalani karir sebagai dosen, Tante Keppi mendapatkan beasiswa untuk S2 di Belanda, ibuku bangga luar biasa, walaupun mereka harus berpisah selama beberapa tahun. Kisah tentang keberhasilan Tante Keppi ini selalu ibu ceritakan kepadaku untuk memotifasi belajar dan menuntut ilmu setinggi mungkin. Cerita ini juga yang membuatku optimis. 

Dosen-dosen dari Belanda itu melihat dan membolak-balik hasil tes tulisku, dan mulai melontarkan pertanyaan dalam Bahasa Inggris, namun tetap dengan logat Meneer dan Mevrouw. Penuh semangat aku menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Tidak terasa 30 menit telah berlalu dan wawancara pun selesai. Aku diminta untuk menunggu pengumuman 2 minggu lagi. Aku merasa lega dan tidak berharap banyak, karena sebenarnya aku hanya ingin mencoba.
Seminggu kemudian, aku pergi bersekolah seperti biasa. Aku berjalan dari gerbang sekolah menuju lantai dua. Tiba-tiba teman-temanku meneriakiku:
 “Oeeeeey, yang mau kuliah di Belandaaaaaaa, oleh-oleh yaaaaaaa”.
Aku kaget dan bingung.
 “Oeeeeeey, nitip keju, klompen, coklat, sama kaos-kaos Amsterdaaaaaaaaam”.
Aku bingung dan bertanya-tanya sambil berjalan tenang ke arah kelasku yang ada di lantai 2. Sambil diteriaki oleh teman-teman, aku berusaha mencari tau penyebab tingkah laku aneh teman-temanku. Ternyata mereka mengerubungi hasil tes beasiswa untuk kuliah di Belanda yang tertempel di dinding kelas, dan…..namaku tertulis disitu. Aku kaget luar biasa, aku bingung.. bagaimana mungkin..aku?? aku?? Kuliah di Belanda? Sendirian di negeri orang? Teman-temanku ramai sekali dan menggoda-goda aku, aku sendiri bingung harus bereaksi apa, bapak ibuku saja tidak tahu.

Pulang sekolah, aku mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan bapak dan ibu. Aku duduk pelan-pelan mendekati mereka di ruang tengah. Akhirnya aku buka suara dengan lirih.
“ Pak…Bu.. saya kemaren iseng-iseng daftar kuliah, tapi beasiswa”.
Bapak menjawab, “Terus, ada yang cocok jurusannya? Kamu sudah mantep milih Universitas apa? Jangan sampe salah pilih. Harus sesuai dengan keinginanmu lho. Jangan ikut-ikutan temen”.
 “Ehmmm, yang beasiswa jurusannya terbatas, tapi ndak kuliah di Malang Pak, kuliahnya di luar negeri, di Belanda”, aku menjelaskan langsung tanpa basa-basi, tapi tangan dan kakiku bergetar. Ibuku langsung kaget.
“Lho nduk, di Belanda? Kok jauh to? Informasinya dari mana beasiswa itu?”.
“Anu Buk..saya dah ketrima, udah daftar, udah tes kemaren, terus dapet surat penerimaan ini Bu.”
Aku menyerahkan Acceptance Letter kepada Ibuku. Bapak dan Ibuku kaget, namun membaca surat itu dengan penuh raut kebanggaan.
“Oalah nduk nduk…Ibu cuman bisa berdoa yang terbaik untuk kamu, kalo kuliah di Belanda sudah jadi keinginanmu, ya Bapak dan Ibu hanya bisa mendukung.”
Seketika aku mentitikkan air mata di pangkuan Ibu, hatiku berdegub kencang, tubuhku gemetaran, aku peluk Ibu dan Ibu mencium pipiku.
 Wis nduk, ndak usah banyak dipikir, sekarang harus tetap fokus, sekolah tinggal 3 bulan lagi, kamu harus lulus SMA dengan nilai yang baik, jangan sampai mengecewakan. Bapak akan membantu persiapan-persiapan sebelum keberangkatanmu bulan Agustus.”

Merantau
Bulan Agustus 2002, aku berangkat ke Belanda dari Bandara Juanda, Surabaya. Hampir seluruh keluarga ikut mengantar, sungguh sangat mengharukan. Ini pertama kali aku naik pesawat terbang, pertama kali aku berpisah dari keluarga dalam waktu yang lama. Sama sekali tak terbayang bagaimana kehidupan di luar negeri, di benua Eropa. Yang terbayang hanyalah wajah bapakku yang telah berjuang keras untuk membiayai pasportku, tiket pesawatku, biaya apartemen dan uang saku untuk 6 bulan pertama di kota Amsterdam. Beasiswa yang diberikan murni biaya pendidikan saja, biaya hidup tetap ditanggung oleh mahasiswa. Mungkin karena ini adalah S1, waktunya 4 tahun, kalau beasiswa S2, sebagian besar beasiswanya penuh sampai biaya hidup, karena waktunya hanya 1,5 -2 tahun. Aku pun bertekad untuk kerja paruh waktu untuk menutupi biaya apartemen, transportasi dan makan sehari-hari. Alhamdulillah, selama di Amsterdam, aku tidak pernah kekurangan apa pun, selalu cukup, walaupun Bapak dan Ibu sudah tidak lagi mengirimkan uang.

Masa kuliah yang kulalui cukup menyenangkan, dimana teori selalu diseimbangkan dengan praktek. Mahasiswa dipaksa berpikir kritis dan langsung terjun ke masyarakat/ dunia kerja. Setiap term, mahasiswa selalu dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dengan proyek yang berbeda-beda, hal ini mengajarkan pentingnya team work dan toleransi dalam kesuksesan sebuah proyek. Kami pun dituntut untuk mepresentasikan output proyek kami di ruang auditorium di depan beberapa dosen, jadi kami tidak boleh malu dan harus percaya diri. Hari-hari kulalui dengan kuliah, kerja paruh waktu dan sesekali berkumpul dengan mahasiswa sesama perantau dari Indonesia. 

Di semester 3, kami sudah harus memilih mata kuliah-mata kuliah yang diminati sesuai profesi yang nanti diinginkan, karena di semester 5, kami diharuskan magang atau melakukan internship secara full-time, minimal satu semester dan maksimal dua semester. Magang bisa dilakukan di Negara mana pun, jadi kami sudah diajarkan membuat Curicullum Vitae (CV) sejak semester 3, dan siap mendistribusikan CV tersebut ke perusahaan-perusahaan multinasional di seluruh dunia di semester 4. Pertengahan semester 4, teman-teman sudah ada yang mendapat jawaban dari perusahaan tertentu untuk memulai magang di semester 5. Aku pun berjuang menyebarkan CV ke perusahaan dan badan Internasional di seluruh dunia. Sudah puluhan CV yang kukirim, sampai akhirnya pada bulan Mei 2004, aku mendapat email dari sebuah badan Internasional di Jakarta yang menyatakan bahwa mereka menerimaku sebagai mahasiswa magang untuk membantu di kantor mereka selama 6 bulan. Walaupun hanya magang, aku bahagia bukan main, bekerja di badan Internasional adalah impianku, dan ini di Jakarta, berarti aku “Pulang Kampuuuuuuuuung!!”  

Pengalaman magang di badan Internasional sungguh sangat berharga  dan berpengaruh pada pekerjaanku. Setelah lulus S1, aku langsung mencari kerja, melamar dan interview kesana kemari. Boleh dibilang sejak wisuda, aku hanya menganggur satu bulan karena langsung mendapat panggilan interview dan tidak lama kemudian langsung diterima kerja di badan Internasional juga. Pekerjaanku ini bertahan sampai detik ini, sudah hampir 5 tahun. Aku percaya, pekerjaan yang kuperoleh 5 tahun lalu ini tidak lepas dari doa-doa bapak ibuku. Aku bersyukur dengan segala kemudahan yang kuperoleh. 

Disisi lain, teman-teman sebayaku yang lulus kuliah masih harus berjuang berbulan-bulan, bahkan sampai lebih dari satu tahun untuk mendapatkan perkerjaan yang layak. Gaji yang mereka terima pun rata-rata hanya sekedar untuk makan dan transport sehari-hari. Kadang aku sedih sakali melihat kenyataan para lulusan S1 yang menganggur, lontang-lantung kesana kemari, kongkow sana sini, kadang bekerja tapi tak sesuai hati nurani. Sungguh miris hati ini rasanya. Apa yang salah sebenarnya pada pola pendidikan kita? Sesungguhnya, kunci dari masalah dari kebanyakan lulusan S1 adalah mereka tidak siap kerja, tidak siap pakai karena tidak berpengalaman. Minimum 4 tahun mereka habiskan untuk belajar “teori”, porsi praktek dan terjun ke dunia kerja langsung sangat minim. Kalaupun mereka diberikan masa magang, jarang yang “full time” , sehingga mereka tidak terlatih untuk berhadapan langsung dengan dunia kerja yang sebenar-benarnya. Kadang mereka hanya berlomba-lomba mendapatkan IPK yang bagus, dan soal-soal ujian pun sebagian besar teoritis, sedikit sekali porsi yang diberikan untuk “ujian praktek”.

Bahkan di usia 18-19 tahun, setelah 12 tahun usia ditempuh untuk SD, SMP, SMA,  mahasiswa  Indonesia jarang diberi kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu yang mereka dapat, karena sebagian besar hanya menghafalkan saja, jika jawaban yang diberikan pada soal ujian tidak sama persis dengan text book yang diajarkan, maka nilainya  akan berkurang. Sulit untuk menjadi kreatif, karena selalu dibatasi oleh “nilai”, jawaban berbeda beberapa kata saja sudah dikurangi nilainya. Kadang kala mereka sekolah dan kuliah hanya karena keharusan, bukan karena ingin dan cinta menuntut ilmu. Keluarga dan perilaku guru/dosen juga menjadi faktor penting dalam pendidikan pelajar di Indonesia. Jika anak “dibatasi” kreatifitasnya di sekolah, sudah menjadi tanggung jawab orang tua untuk selalu menggali minat anak, sehingga anak tersebut akhirnya bisa “ahli” dalam satu atau beberapa bidang. Hubungan antara siswa dengan guru, mahasiswa dengan dosen juga berpengaruh atas minta belajar. Keterbukaan dan seni mengajar yang fun akan memberikan segi positif terhadap daya serap dalam belajar. 

Aku bersyukur lahir di tengah keluarga pendidik yang sadar betul makna pentingnya pendidikan. Tidak harus bergelimang harta untuk bisa sekolah yang bagus, yang terpenting adalah kesungguhan hati, tekad kuat dan ketekunan dalam menuntut ilmu. Aku ingin setelah membaca kisah ini, anak-anak Indonesia semakin bersemangat dalam belajar dan menuntut ilmu, karena pendidikan yang bagus adalah investasi di masa depan. Anak-anak Indonesia pun selayaknya menghargai jerih payah orang tua yang telah menyekolahkan mereka. Karena pendidikan adalah penerang masa depan. Aku ingin mahasiswa Indonesia, pelajar Indonesia, anak-anak Indonesia mampu menjadi generasi yang kreatif dan bervisi ke depan. 

Terima kasih kakek guru, sang pendidik sejati, atas ajaran mengenai ketegasan, berpikir cepat, fokus dan tetap tenang.
Terima kasih bapak atas dasar kedisplinan dan optimisme, yang kau tanamkan dan atas jerih payah memberangkatkanku menggapai mimpi untuk kuliah di luar negeri.
Terima kasih ibu atas kesabaranmu, kasih sayangmu, kelembutanmu dan kisah-kisah inspiratif yang selalu kau bisikkan padakku.
Beristirahatlah dengan tenang di surga kakek, bapak dan ibu.
Walaupun kehilangan kalian bertiga sungguh berat bagiku, namun semangat, petuah bijak dan keteguhan hati yang kalian ajarkan akan selalu kuteladani dan kutularkan pada anak-anakku kelak. Terima kasih juga kepada Tante Keppi, sahabat karib ibuku, yang kini telah menjadi seorang Professor. Beliau adalah inspirasi sejati atas kecintaan pada ilmu dan dunia pendidikan. Jenjang demi jenjang beliau lalui, dari S2, S3 hingga akhirnya menjadi Proffesor. Beliau sangat kehilangan ketika ibuku meninggal dunia akibat gagal ginjal. Ibuku tak kuasa menahan sakitnya cuci darah dan akhirnya dipanggil Tuhan pada tanggal 18 Januari 2008. Ini adalah sepenggal puisi yang ditulis Proffesor Keppi untuk almarhumah ibuku:

Kenangan Masa Remaja yang Ceria

Hari ini usiaku genap lima puluh tiga tahun
Empat puluh yang lalu kau meninggalkanku
Empat puluh tahun yang lalu kita bertemu
Berkenalan, bersahabat
Remaja yang jelita
Remaja yang ceria
Remaja berhidung India
Remaja besepeda
Remaja dengan rambut dikepang dua.

Aku dan kamu datang dari keluarga serupa
Keluarga guru yang arif dan sederhana
Sekolah dan menuntut ilmu
Itulah yang mengikat persahabatan kita.
Masih selalu teringat ketika kita belajar berdua,
di rumah, di dapur, di pinggir Sungai Berantas,
Sungguh Indah sahabat

Kemudian kita berpisah jalan sementara
Sampai kemudian bersatu lagi di Kota Malang
Kau menjadi dewasa sebagai seorang Bidan
Saya menjadi guru di Unversitas Brawijaya

Siapa yang tidak terluka,
Ketika sahabat tercinta tiba-tiba meninggalkan saya
Sahabat yang cantik lahir bantin itu
Telah pergi menghadap yang kuasa
Empat puluh hari yang lalu..
Langit mendung, guyuran hujan, pertanda alam yang duka
Selamat jalan sahabat,
Dihatiku kamu masih ada,
Kamu tidak akan pernah pergi dari ingatan saya
Gusti Alloh lebih sayang kamu
Tuhan lebih cinta kamu
Selamat jalan sayang
Pulanglah ke rahmatullah dengan damai
Bahagialah di alam kelanggengan
Innalillahi Wainnalillahi Rojiun..

No comments: